Minggu, 28 Oktober 2012 | 16:35
Ilustrasi lambang Nahdlatul Ulama. (sumber: NU.or.id)Liputan Pengakuan Algojo 1965 dinilai tidak fair.
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur melapor pimpinan dan kru liputan Majalah Tempo ke Dewan Pers, karena liputan bertajuk Pengakuan Algojo 1965dinilai tidak fair dan sengaja melakukantrial by the press.
"Kami minta hak jawab kepada Majalah Tempo, tapi kami juga akan melapor ke Dewan Pers, karena mereka sudah jelas melanggar Pasal 6 UU Pers 40/1999 dan Pasal 4 Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)," kata Wakil Sekretaris PWNU Jatim H Achmad Sujono di Surabaya, Minggu (28/10).
Ia menjelaskan sikap dan pandangan PWNU Jatim itu dilakukan justru setelah PWNU Jatim mengadakan rapat dengan P Wahyu dari Majalah Tempo di Sekretariat PWNU Jatim pada 9 Oktober 2012. "Hasil pertemuan merumuskan perlunya PWNU Jatim melakukan hak jawab," ucapnya.
Menurut dia, indikasi pelanggaran UU Pers dan KEWI oleh Majalah Tempo itu terlihat dari penempatan KH Machrus Aly, Gus Ali Maksum, Kiai Idris Marzuki, dan sejumlah kiai sebagai bagian dari algojo PKI 1965, padahal pandangan itu sangat tidak proporsional dan tidak fair.
"Tempo terlalu menyederhanakan persoalan dan terkesan ceroboh, peliputan yang menghina pesantren dan tidak cover both side, bahkan rubrik opini menulis dengan sengaja menyudutkan bahwa NU adalah organisasi yang aktif berperan dalam 'pembersihan' PKI di Jateng dan Jatim," tuturnya.
Oleh karena itu, tuduhan itu terkesan memihak dan tidak cover both side, karena PKI sendiri melakukan pembantaian warga pada tahun sebelum 1965, seperti Peristiwa Kanigoro, dan pembantaian dalam pemberontakan PKI dengan 'Madiun Fair 1948'.
"Banyak saksi Madiun Fair 1948 yang masih hidup, bahkan dalam pemberontakan itu justru PKI lebih kejam dan sadis. Ada saksi yang menyatakan kejadian itu mirip rezim Khmer Merah di Kamboja, Polpot," paparnya.
Apalagi, persoalan Algojo 1965 itu sebenarnya tidak lepas dari intrik, konflik, dan pertikaian politik-ideologis yang sesungguhnya menempatkan NU sebagai korban, karena itu majalah sebesar Tempo sangat tidak elok bila melakukan penulisan karya jurnalistik dengan teknik dan kaidah yang tidak standar.
Indikasi lain, pendapat seorang warga NU bernama Agus Sunyoto yang menulis esai juga tidak dimuat Tempo, padahal tulisan itu mampu menjadi penyeimbang. "Jadi, ada kesan kesengajaan untuk menuduh, menghina, dan menyudutkan," tukasnya.
Terkait nama sumber berita Tempo yakni, Dasuki dari Jombang juga patut dipertanyakan. "Hasil penelusuran kami, Dasuki lahir tahun 1957, karena Tempo menulis berusia 55 tahun, padahal kaitannya dengan tahun 1965 itu hanya delapan tahun, sehingga dia masih kelas dua SD, tentu sulit anak sekecil itu bisa mengingat peristiwa secara rinci, apalagi dia menyebut panser yang tidak ada di Kediri pada masa itu," katanya.
Senada dengan itu, peneliti Center for Indonesia Community Studies (CICS) Arukat Jaswadi menegaskan bahwa peristiwa 1965 tidak seharusnya dikaitkan dengan pelanggaran HAM, karena situasinya sangat berbeda dan tahun 1965 itu ada kaitannya dengan 1945 di Madiun dan Kanigoro (Blitar), sehingga pemahaman tidak menjadi sepihak.
"Kalau semua peristiwa itu dikaitkan, maka PKI sesungguhnya bukan korban, melainkan pelaku yang gagal dalam melakukan kudeta dengan pemberontakan. Apalagi mereka membawa paham komunis yang dilarang di negara Pancasila. Bayangkan kalau mereka menang, tentu Indonesia menjadi negara komunis dan Pancasila akan dibuang," katanya.
Namun, ia meminta semua pihak untuk mewaspadai "gerilya" kader-kader PKI yang saat ini menyusup ke berbagai kalangan, termasuk di media massa, karena ada aktivis Lekra dan aktivis golongan B PKI yang saat ini "masuk" ke media massa. "Bukan apa-apa, tapi kita harus hati-hati saja, karena kader PKI itu biasanya sangat militan," katanya.
Penulis: Antara/ Ririn Indriani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar