MALANG, KOMPAS.com - Dugaan cuci otak yang menimpa 15 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dinilai adalah terorisme gaya baru. Karenanya, pemerintah diminta untuk segera mengevaluasi berbagai ajaran ideologi yang tidak sesuai dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selain itu, terorisme gaya baru tersebut juga adalah bagian dari upaya untuk memecah-belah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian dikatakan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Malang, Mursidi, Kamis (21/4/2011).
"Pencucian otak yang dilakukan kepada mahasiswa UMM itu kalau saya menilai, adalah bentuk terorisme gaya baru. Tujuannya, untuk menyerang ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu setelah saya melihat kasus yang ada. Para korannya mayoritas adalah generasi muda yang mudah untuk dipengaruhi," jelas Mursidi.
Menurutnya, Indonesia itu sudah jelas tidak mungkin menerapkan konsep Negara Islam. Sesuai dengan lambang negara yakni Bhinneka Tunggal Ika, yang menghargai keberagaman dan kebebasan dalam memeluk agama.
"Sedangkan konsep Negara Islam, tidak mungkin diterapkan di Indonesia. Hal itu sudah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945. Jadi, tidak mungkin untuk menerapkan satu agama saja," tegasnya.
Jika ideologi semacam itu diajarkan secara luas nilai Mursidi, akan sangat berbahaya. Karenanya, ia meminta dan mendesak pemerintah secara tegas mengevaluasi berbagai ajaran ideologi yang ada di Indoensia.
"Saya mendesak pemerintah supaya mengevaluasi berbagai ajaran ideologi yang tidak sesuai dengan konsep NKRI. Jangan sampai hal ini meluas ke berbagai daera, terutama ke kampus-kampus," pintanya.
Sementara itu, setelah santer kasus "cuci otak" yang menimpa mahasiswa UMM itu, pihak Universitas Brawijaya (UB) Kota Malang, mengaku Rabu (20/4/2011), telah didatangi tiga anggota intelijen pusat terkait adanya mahasiswa setempat yang menjadi korban doktrinisasi yang diduga pelakunya adalah jaringan Negara Islam Indonesia (NII).
"Sejak isu cuci otak itu, pihak Unibraw sudah didatangi tiga anggota intelijen puat. Intelijen itu menanyakan nama mahasiswa yang menjadi korban cuci otak," aku Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswa Unibraw Malang, Ainurrasyid, Kamis (21/4/2011).
Kedatangan tiga anggota intelijen itu untuk melakukan pengecekan kebenaran dari pemberitaan yang selama ini menyebutkan adanya salah satu korban doktrinisasi yang berasal dari Unibraw. "Sampai saat ini korban dari mahasiswa Unibaw masih belum ada," katanya.
Selain itu, tiga orang intelijen itu, juga meminta agar pihak Unibraw tetap melakukan kontrol terhadap mahasiswanya. "Karenanya, sejak adanya kasus itu pihak Unibraw sudah melakukan antisipasi," katanya dengan tak mau menyebutkan model antisipasinya.
Cuci Otak Cuma untuk Dapatkan Uang
MALANG, KOMPAS.com- Dugaan cuci otak yang menimpa 15 mahasiswa di Malang dinilai belum bisa ditafsir sebagai aksi perekrutan NII (Negara Islam Indonesia). Guru Besar Filsafat dan Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof Dr Syamsul Arifin menilai, ada cukup kemungkinan bahwa itu hanya bentuk komodifikasi ajaran atau doktrin agama untuk tujuan mendapatkan uang.
Syamsul menjelaskan di Malang, Kamis (21/4/2011), NII dalam sejarahnya adalah sempalan gerakan Islam dalam sejarah Indonesia berhubungan dengan pendirian Kartosuwiryo, tokoh sejarah yang meyakini hubungan antara Islam dengan praktik pembentukan negara.
Kartosuwiryo membawa pendiriannya dalam bentuk gerakan bersenjata, yang populer pada awal abad 20, di era ideologi ketika berbagai gerakan berbasis ideologi dan agama berusaha membentuk negara . Setelah era Kartosuwiryo NII lenyap, atau setidaknya tidak muncul di permukaan secara formal.
Berbagai isu tentang gerakan NII hanya berhenti sebagai informasi, tidak merupakan gerakan riil. Malah lebih riil gerakan HTI, yang nyata muncul menyampaikan misinya di depan umum melalui forum-forum seperti tabligh akbar. "NII lebih tepat disebut sebagai gerakan sempalan yang siluman. Sehingga tidak ada dasar yang dapat menghubungkan fenome pendulikan atau cuci otak di Malang ini dengan gerakan NII. NII tidak empiris," katanya.
Syamsul lebih melihat gejala tersebut sebagai aksi penipuan, sebagaimana juga kesimpulan Kapolresta Malang AKBP Agus Salim. Agus Salim kepada wartawan juga menyatakan, polisi hanya fokus melihat kasus ini sebagai kasus penipuan dengan menggunakan metode indoktrinasi. Polisi tidak memberi perhatian pada isu NII, karena hal itu bukan wilayah kerja Kepolisian.
Menurut Syamsul, indoktrinasi merupakan metode yang lebih bisa dimanfaatkan oleh gerombolan penipu ini, karena sasaran materi yang berusaha dicuri bisa lebih besar.
"Itu sebabnya teknik yang dipakai pura-pura bersandiwara menghilangkan laptop. Mereka tidak mencuri sepeda motor, karena nilai uangnya sama dengan laptop, sementara sepeda motor masih terikat oleh STNK," komentar Ismed Jayadi, paman Mahatir Rizki, salah satu mahasiswa UMM yang hingga kini tak ditemukan keluarganya.
Menurut Syamsul, ini sama seperti gejala komodifikasi yang menggejala akhir-akhir ini, ketika segala sesuatunya dijadikan komoditas, termasuk doktrin keagamaan oleh gerombolan yang mengaku-ngaku sebagai NII ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar