MALANG, KOMPAS.com — Para perekrut Negara Islam Indonesia (NII)–atau organisasi apa pun namanya karena tidak ada pihak yang dapat dikonfirmasi kepastian nama dan identitas organisasi–mendekati mangsa-mangsanya dengan cara yang adaptatif.
Meski hendak diajak untuk tujuan memasuki Islam yang kaffah, Islam yang total yang sesungguhnya, mereka tidak berpenampilan kuno. Pandangan itu diungkapkan Bagyo Prasasti Prasetyo, Ketua Majelis Pertimbangan Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Kamis (21/4/2011).
Menurut Bagyo, pertemuan antara perekrut dan mangsa–yang sasarannya para mahasiswa semester awal perguruan tinggi di Malang–dilakukan di sejumlah restoran cepat saji di Malang. Tempatnya bukan di surau, masjid, langgar, dan tempat suci umat Islam lainnya, tetapi justru di mal.
Bahkan, Bagyo mengungkapkan, para pelaku juga tidak berjenggot, bercambang, atau menggunakan celana cingkrang. Perekrutnya–seperti bisa dilihat di foto–mengenakan kemeja layaknya eksekutif muda, lengkap dengan gaya rambut jabrik seperti gaya rambut tintin atau mohawk.
"Para perekrut ini sangat adaptatif dan ini merupakan teknik penyamaran yang sempurna yang membuat mangsanya sama sekali tak curiga, tetapi malah terkagum-kagum," kata Bagyo yang juga menjabat Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Batu, yang kini menjalankan advokasi terhadap keluarga para korban.
Para mangsa umumnya masih remaja dan berasal dari kota-kota kecil sekitar Malang, seperti Mahathir Rizki (19) asal Bima, Nusa Tenggara Barat. Ia direkrut Muhayyin asal Lampung–mungkin ini identitas palsu dengan sejumlah nama alias–yang foto-fotonya berhasil didapat dari ponsel Agung. Agung adalah orang yang menghilang bersama Rizky setelah dipukuli teman-temannya karena utang uang yang tidak dikembalikan terkait perekrutan NII.
Para mahasiswa lugu itu akan dibuat terpesona dengan penampilan pemuda gaul perekrutnya, yang kemudian mengeluarkan Al Quran terjemahan di tengah acara makan di mal.
Kata Bagyo, percakapan mereka berisi pernyataan, antara lain, saat ini dunia diibaratkan titik nomor satu, untuk mencapai surga di titik 100. "Jika tidak ber-Islam secara total, manusia tidak akan mencapai 100 mengingat ada dosa-dosa sebelum bergabung dengan NII. Jika setuju bergabung, mereka harus di-baiat. Pertemuan demikian hanya berlangsung 4-5 kali," kata Bagyo.
Pada tahap ini para mangsa diminta untuk memberi uang Rp 2,5 juta sebagai biaya baiat di Jakarta. Uang didapat dengan berbohong kepada orangtua, misalnya untuk pembayaran tugas tertentu di kampus. "Bohong kepada orangtua tidak menjadi masalah, ditiupkan doktrin begitu, karena orangtua bukan Muslim yang sebenarnya dan yang benar NII," ungkap Bagyo.
Urutannya selalu sama. Setelah menyetor uang, mereka akan diajak ke Yogyakarta, lalu ke Surabaya, lalu ke Jakarta naik kendaraan umum bus atau kereta. Di Jakarta mereka dijemput, lalu kepalanya ditutup kain, dibawa ke suatu tempat yang seperti goa. Goa ini dinyatakan sesuai dengan surat dalam Al Quran tentang orang yang bangun di dalam goa (QS Al Kahfi).
"Setelah pulang, para mangsa ini kembali ke kehidupan semula tetapi diharuskan membayar zakat kepada organisasi NII dalam rangka mewujudkan NII yang akan didirikan," kata Bagyo.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar